Netlabel dan Industri Musik Yang Tak Pernah Akur


Beberapa hari ini nampaknya kembali timbul geliat antara pro dan kontra netlabel (internet label) dan juga industri musik yang sepertinya sulit untuk akur. Seorang teman dari Jakartabeat membuat sebuah tulisan yang bisa dibilang cukup menyindir pernyataan dari Widi Asmoro dan Robin Malau 'netlabel Indonesia sekedar jargon  dan para pelaku netlabelnya sebagai oksimoron’ (http://jakartabeat.net/kolom/konten/mau-kemana-netlabel-kita-tanggapan-untuk-widi-dan-robin).

Untuk yang belum tau, Robin Malau dan Widi Asmoro adalah sosok entrepreneur dan pengamat musik yang cukup getol tentang bagaimana cara memajukan musik Indonesia melalui industri kreatif.  Widi saat ini bekerja di Nokia Indonesia (yang kemudian berganti nama menjadi Microsoft Lumia) dan Robin adalah founder dari Cerahati (www.cerahati.com) dan juga sebuah aggregator yang bernama Musikator (www.musikator.com). Beberapa minggu lalu kebetulan saya mengikuti diskusi selama kurang lebih 2 jam lamanya di Bandung, dimana pembicara saat itu adalah Robin Malau, Felix Dass (SRM Management- yang menaungi band-band seperti SORE, Bangkutaman) dan juga Arie (Mindblasting Netlabel). Mas Pry (www.ripstore.asia – penulis artikel di Jakartabeat yang tautannya saya lampirkan di paragraf pertama) saat itu juga hadir dalam sesi diskusi yang juga menjadi rangkaian dari event Indonesian Netaudio Festival 2 (INF).

Menurut saya yang juga memiliki netlabel (http://netlabel.kanaltigapuluh.info) topik dari perseteruan ini adalah suatu lagu lama. Ada pihak yang melihat netlabel tidak menguntungkan label itu sendiri dan musisi secara finansial, ada juga yang berpendapat netlabel adalah alternatif lain untuk musisi dalam menyebarkan karyanya diluar sistem dari label konvensional yang seperti kita semua tau terlalu banyak aturan yang mengikat dan juga lebih menguntungkan si labelnya sendiri secara finansial daripada musisi yang merilis karyanya di label tersebut.

Netlabel dengan free culture nya tentu secara logika akan sulit di nalar jika harus disama ratakan dengan label konvensional yang dibentuk memang untuk tujuan bisnis (profit), namun jika dilihat kedepan tidak menutup kemungkinan juga meskipun sebagai netlabel, juga dapat meraih profit. Profit yang saya maksud disini tidak melulu harus berupa materi atau finansial, bisa berbentuk hal yang lain, prestise misalnya.

Saya mengambil contoh netlabel terbesar di Indonesia asal Yogyakarta, YesNoWave. Netlabel ini memang menggratiskan musik yang dirilisnya, namun dengan nama besar dan artist-artist besar yang sudah dirilis (Frau, White Shoes And The Couples Company, Sigmun, dll) secara prestise tentu YesNoWave sudah mendapatkannya. Dengan musisi-musisi besar yang sudah dirilis dengan gratis bukan berarti netlabel tersebut tidak memiliki profit ataupun pemasukan walaupun sekedar untuk biaya operasional (sewa hosting,domain). Donasi dan pembuatan merchandise lah yang menjadi pilihan untuk netlabel dalam mencari pemasukan. Dari merilis secara digital di netlabel, musisi memang tidak mendapat royalti karena kesepakatan awal memang begitu dengan konsep free sharing menggunakan lisensi Creative Commons, tidak menggunakan lisensi Copyright dan tidak harus mendaftarkan karya tersebut ke Badan HAKI.

Musisi tentunya harus sadar di awal ketika menyetujui untuk dipublish netlabel, dirinya tidak akan mendapat royalti dari lagu yang telah diunduh ataupun disebar luaskan. Musisi dapat mencoba alternatif lain untuk mencari profit, yaitu tetap membuat rilisan fisik dan juga merchandise. Kalau dari pihak musisinya saja setuju karya digitalnya disebar luaskan secara gratis dan bebas, kenapa juga dijadikan masalah bahwa netlabel tidak menjadikan musisi memperoleh timbal balik yang ‘pas’, karena tidak mendapat royalti, misalnya.

Tidak ada ketentuan yang mengikat saat musisi memutukan merilis karya di netlabel, karena hak dan ‘copyright’ dari karya itu masih dipegang oleh si pemilik karya, bukan netlabel. Hal ini menguntungkan pihak musisi nya sendiri, karena memiliki hak untuk merilis musiknya di netlabel lain misalnya, atau merilis album tersebut dalam format fisik dan dikomersilkan (dijual, tidak di gratiskan seperti versi digitalnya).

Jika musisi ingin mendapat royalti penuh dari hit download / penjualan musiknya, silahkan memilih menggunakan jalur label konvensional / aggregator (dengan segala aturan dan dana yang cukup tentunya karena untuk dapat bergabung musisi harus membayar dimana setiap label / aggregator memiliki kebijakan yang berbeda-beda tentang ini), namun jika musisi memiliki dana terbatas dan dengan sadar karya yang akan dirilis tidak akan mendapat keuntungan secara finansial namun secara persebaran bisa lebih signifikan karena menggunakan sistem free download, silahkan menggunakan fasilitas dari netlabel.

*Secara pribadi saya mengenal Widi, Robin dan juga mas Pry dengan cukup baik. Meskipun saya seorang penggiat netlabel, namun saya juga secara bisnis memiliki kerjasama dengan Microsoft Lumia dengan aplikasi MixRadio nya dan juga Musikator sebagai sebuah aggregator untuk submition artist saya ke aplikasi MixRadio, dimana saya memiliki sebuah konten musik disana. Saat ini saya juga mempercayakan layanan web development netlabel dan juga media online saya (www.kanaltigapuluh.info) ke ripstore.asia.    

This entry was posted on November 27, 2014 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply