Interview: Farid Stevy Asta


Nama Farid Stevy Asta di dunia seni rupa Yogyakarta tentu sudah tidak asing terdengar. Sudah banyak sekali proyek-proyek berkesenian yang dikerjakan, termasuk menjadi front man dari FSTVLST, salah satu band indie rock yang namanya saat ini sendang naik daun di skena musik indie Indonesia. Bulan lalu saya mendapat assigment dari majalah fashion dan urban culture asal Jakarta, NYLON Indonesia untuk melakukan sesi interview dengan Farid, berikut interview saya dengan Farid

Latar belakang kamu dalam berkarya itu seperti apa?
Saya sebenarnya adalah orang yang cukup kompleks, saya lulusan DKV, bekerja dalam ranah  seni rupa dan  juga bekerja dengan medium musik (band).  Di Jogja adalah sebuah tempat dimana secara sosial budaya mengijinkan kita melakukan banyak hal dalam waktu bersamaan. Medium saya dalam bekerja pun menjadi bermacam-macam, seperti membuat desain di studio libstud, berkarya pertunjukan di FSTVLST dan juga bekerja dalam ranah fine art / pameran. Latar belakang saya adalah keinginan untuk berkarya dan menyampaikan pesan. Pesan – pesan yang ingin saya sampaikan tidak lepas dari keseharian saya dan  lingkungan sosial disekitar saya, ditambah dengan beberapa alasan untuk memunculkan cerita tentang identitas dan jati diri melalui karya yang saya buat.

Tema yang kamu angkat dalam membuat karya sejauh ini berdasarkan apa?
Tema karya tidak jauh dari keseharian saya, ataupun hal yang dekat dengan saya seperti identitas keluarga contohnya. Saya  meneliti hirearki keturunan  dan silsilah keluarga kemudian diwujudkan menjadi karya saya.

Medium apa yang sering kamu gunakan dalam membuat suatu karya
 Medium yang saya gunakan selalu berbeda-beda, tetapi semua itu menjadi satu karena konten berita yang saya angkat. Saya sering memunculkan kecendurungan sosial-budaya, semisal dalam  pameran terakhir yang menyampaikan pembacaan atas lingkungan dimana terjadi tumpah ruahnya teks dan iklan. Saya memperhatikan lingkungan entah dalam lagu, visual ataupun desain. Ketertarikan saya akan konten itu yang mencirikan dari karya yang saya kerjakan, sehingga mediumnya tidak bisa ditentukan hanya dengan satu hal saja.  
Suatu saat saya bisa saja  menulis buku, dahulu  saya menyukai street art, saya juga pernah kerja di galeri, membuat gambar di postcard juga, sehingga medium akan bergeser sesuai dengan kenyamanan dalam membuat karya. Pada akhirnya semuanya akan mengandung pesan.  Sebenarnya  agak anomali karena kebanyakan seniman memang mempunyai ciri khas tertentu secara visual, ada beberapa poin yang memang saya jaga untuk menjadi ciri khas, tapi kuncian saya tetap  di konten sehingga hal ini memberikan kebebasan untuk mengeksplorasi karya yang saya kerjakan.

Bisa diceritakan tentang ketertarikan kamu pada sosok Warhol dan Basquiat?
Saya suka Warhol seperti kebanyakan orang pertama karena melihat karyanya. Karya Warhol populer sekali, lalu saya kemudian tahu  cerita dan konsep dari pop art sampai sebegitu menariknya  dan salah satu pencetusnya adalah Andy Warhol. Latar belakang Warhol mirip dengan saya, sebelum dikenal sebagai seniman kontemporer dia pernah bekerja menjadi illustrator majalah dan sangat dekat dengan dunia advertising, sedangkan saya adalah anak DKV,bekerja di fine art.  Warhol melihat lingkungan masyarakat Amerika waktu itu bahwa  di Amerika sedang menuju ke pola masyarakat consumerism, melakukan riset dan menyampaikannya ke publik.  Fungsi dia dengan karyanya adalah sebagai penyampai pesan. Metode berkarya semacam inilah yang saya suka.  Ada sisi yg menarik dari Basquiat yang juga mirip dengan saya, dimana saya melewati masa-masa mengawali kerja seni rupa di wilayah Galeri BiennaleJogja Jamming  yang mengundang street artist di galeri. Itu merupakan pameran pertama saya di galeri. Kombinasi Warhol dan Basquiat adalah Warhol sistematis dan terkonsep dengan karya jenius digabungkan dengan Basquiat yg sangat liar, raw dan melihat kecenderungan saya yang  bekerja secara sistematis dan outputnya juga raw, sehingga 2 orang ini secara tidak langsung mewakili identitas saya dalam berkarya. Dulu saya suka mengadopsi karya Warhol dalam membuat karya kaleng tomat sebagai simbol. Ada juga karya berbentuk tulisan tangan yang seperti Basquiat. Tapi karya itu tidak Basquiat banget atau Warhol banget, dan yang sedang saya lakukan adalah mengagumi metode mereka dalam berkarya.

Bagaimana menurut kamu tentang budaya Pop art di Indonesia?
Pop art di Indonesia sekarang, menurut saya tidak bisa terulang. Pop art terjadi di masa-masa Warhol dan semisal kita membicarakan tentang  pop art di Indonesia  sudah berbeda konteks. Pop art terjadi pada kondisi sosial budaya tertentu, direspon oleh orang-orang tertentu dan pemahamannya itulah menjadi sebuah pop art. Kondisi seperti itu tidak bisa terulang. Di Indonesia bentuk pop art sudah ada, tapi sebutannya mungkin bukan pop art.

Bisa diceritakan tentang libstud?
Munculnya setelah saya lulus kuliah pada tahun  2007, semenjak itu saya bekerja di studio sendiri, meskipun pernah jadi graphic designer news letter salah satu club di Jogja. Liberated Studio adalah studio yang memerdekakan, ruang saya sendiri dalam bekerja dan semakin kesini menjadi semakin komplit dengan adanya 6-7 orang yang bekerja disana. Liberated Studio menjadi  tempat kami untuk eksplorasi dan berkarya, bertemu dan berproses.
Saat ini Libstud lebih fokus ke studio visual. Ada beberapa sub divisi disini antara lain Libcult yang berjalan diruang yang sama tetapi bentuk kegiatannya  berbeda, lebih ke kegiatan cultural.  Libjunk  adalah divisi merchandising dimana mensupport kegiatan  dan mencari dana berupa merchandise. Kerjaan dg client atau membuat karya kami lakukan di libstud, Libcult kami bentuk menjadi tempat yang non profit, dan  Libjunk adalah cara kami mensupport apa yg kita kerjakan di Libcult.
Disini setiap orang bisa turut serta dan mengerjakan sesuatu bersama. Outputnya akhirnya bisa bermacam-macam, seperti gaya saya dengan medium dalam membuat karya yang bermacam-macam, jangan sampai terbatas hanya di seni rupa yg kemudian tidak liberated. Dari ke 7 orang termasuk saya di studio sejauh ini cuma saya n 1 orang lagi yang memiliki latar belakang pendidikan seni, yg lain malah bertemu di band-band an. Saya tidak menerapkan sistem recruitment, semuanya berdasar kemauan untuk belajar.   Jika mau belajar dan menyukai apa yang dikerjakan ya mari kita berproses bersama. Memang secara bisnis mungkin lebih mudah bergerak jika yg bekerja orang professional dg latar belakang seni, tetapi saya lebih suka melihat orang yang mau berproses bersama dalam mencapai suatu hasil akhir.  
Orang-orang yang bekerja di libstud tidak terikat kontrak kerja, kami juga tidak ada spesialisasi khusus di setiap orangnya, sehingga  jika ada satu orang yang tidak ada maka akan dilengkapi oleh anggota yang lain, karena setiap anggota harus menguasai secara komperehensif apa yang dikerjakan. Dalam pembagian  profit  kami menerapkan sistem seperti koperasi, saat kerjaan banyak ya sharing profit akan banyak, begitu juga sebaliknya.  Menurut saya dengan menerapakan sistem seperti ini akan menjadi semakin menarik.

Definisi seniman menurut kamu seperti apa?
Saya belum berani consider sebagai seorang seniman, menurut saya agak berat menyandang predikat seniman, tapi saya tidak melarang persepsi publik dalam memberi penilaian terhadap saya. Menjadi seniman tidak cukup dengan bisa menggambar atau membuat karya. Saya lebih senang membahasakan diri sebagai seorang buruh seni.
Menurut saya seseorang  bisa menyandang predikat seniman adalah ketika apa yang dikerjakan sesuai profesi dan lebih dari sekedar pekerjaan. Misalnya profesi saya adalah seorang guru. Yang saya kerjakan adalah datang ke sekolah untuk mengajar, menyiapkan materi mengajar dan itu profesi sehari-hari saya. Guru bisa jadi seniman ketika etos dia memang untuk mengajar. Dia memiliki soul untuk hal itu yaitu mengajar. Saat ini  saya masih memaksimalkan apa yang saya kerjakan, pekerjaan saya menggambar dan main band tetapi ada usaha saya dimana saya  ingin orang terhibur dalam merespon karya saya dan itu usaha saya untuk menjadi seorang seniman. Selanjutnya orang yang menilai saya seniman atau bukan atas apa yang selama ini saya kerjakan. Banyak juga sarjana seni tapi tidak berprofesi dalam dunia seni dan etosnya tidak untuk berkarya. 
Menanggapi isu akan dicantumkannya pekerjakan seniman di KTP Indonesia, jika jadi petugas KTP akan stress dalam mendata penduduk karena ukuran saya dalam menilai seniman adalah seperti itu. Orang dengan profesi apapun asalkan menumpahkan passion n soul nya dan  dapat berguna untuk orang lain itulah yang saya sebut dengan seniman, jadi bukan berdasarkan dari  pendidikan formal saja.
Ale whiteshoes sempet posting di akun instagramnya dimana orang paling mulia di dunia salah satu nya seniman. Jika di kehidupan ini banyak orang yang mau menumpahkan passion atas profesinya maka akan ada banyak seniman di dunia ini.

Bagaimana cara kamu membagi waktu sebagai buruh seni rupa dan bermusik?
Saya sebagai anak band dan buruh seni rupa, yang penting bisa bagi waktu dan konsentrasi. Saya sering mendapat advice dari teman-teman senior bahwa saya harus fokus berada dimana, tetapi sekali lagi di Jogja saya diijinkan melakukan banyak hal yang beragam meskipun harus capek juga, dan saya mengambil resiko itu. Saya sangat suka untuk perform di panggung, karena itu juga menjadi medium saya untuk berkarya. Riset dalam  satu konten dan outputnya bisa bermacam-macam,  bisa jadi karya seni rupa dan ketika menulis lagu ya outputnya menjadi sebuah lagu. Banyak hal  yang muncul di lirik lagu dan karya seni rupa. Saya mengoleksi frase di buku saya, dan dari koleksi tersebut saya susun menjadi artwork untuk pameran seni rupa saya. Yang keluar sebagai output karya seni rupa adalah bagan kolom dan teks yang random. Saya berkarya dalam banyak medium tetapi tetap sinkron  dan identitasnya tidak terlepas.

Apa yang membuat kamu untuk memilih berkarir di Yogyakarta?
Saya  lulus kuliah DKV di ISI pada tahun 2007, saat itu dunia advertising memang sedang  sexy-sexy nya. Banyak kakak kelas yang  pindah ke  Jakarta dan bekerja disana. Pada tahun 2003 saya ngeband dan 2007 lulus dan sempet kepikiran  untuk pindah ke Jakarta, tetapi ditahan oleh band saya saat itu (JENNY). Karena alasan band saya stay disini dan akhirnya membuat studio sendiri. Saya tentu  harus bekerja juga juga selagi band-band an disini.

Bagaimana pendapat kamu tentang seniman-seniman muda di Yogyakarta saat ini?
Setiap generasi tentu memiliki karakter yang  berbeda. Pasti ada pergeseran suasana sosial budaya dan juga teknologi. Semakin kesini seni rupa memiliki potensi yang sangat luas, semakin banyak anak muda yang tertarik, semakin banyak anak muda yg berkarya dengan medium apapun. Generasi sekarang lebih punya konten yang bisa diangkat, dimana dahulu di masa saya lebih banyak membahas soal reformasi  atau gejolak politik pada saat itu. Soal kemajuan teknologi dalam membangun jaringan lintas ruang, saat ini sangat dipermudah dengan adanya sosial media dan saat ini saya juga mengalami itu. Tidak ada inferior dan superior ditiap generasi, karena mereka memiliki karakternya masing-masing.  Di skena musik dahulu masih banyak panggung-panggung kecil dan sekarang sudah tidak ada. Ada semacam kerinduan sebenarnya disini  saya tidak bisa menyalahkan juga saat ini sudah semakin banyak panggung pensi dan bersponsor.

Proyek yang kamu kerjakan dalam waktu dekat?
Proyek waktu dekat adalah FSTVLST akan rilis album, libstud masih menangani pekerjaan-pekerjaan dari client seperti corporate identity yang sampai akhir tahun ini sudah mulai penuh, dan rencananya tahun ini saya akan berpameran tunggal di Jakarta. 

This entry was posted on September 21, 2014 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply