Saya bukan seniman, saya juga bukan musisi, saya hanya penikmat musik dan kesenian yang ada di Jogja, orang yang menikmati Jogja dengan segala kesederhanaannya, orang yang memulai studi di kota ini sejak 8 tahun lalu dan memutuskan untuk tetap bertahan disini daripada menyambung hidup di Jakarta seperti mayoritas teman kampus saya. Saya hanya orang biasa yang memiliki banyak teman dari golongan musisi dan seniman di kota ini, maka dari itulah saya bersama teman-teman membuat projek pertunjukan yang bernama LELAGU, selain saya juga memiliki sebuah media underated di kota ini.
LELAGU #4 (11/10/2013) kali ini memang bisa dibilang ditunggangi oleh pihak lain yaitu Festival Seni Mencari Haryadi, silahkan masyarakat yang menilai. Yang jelas, kami disini hanyalah berkesenian dengan merespon hal tersebut dengan mengambil tema "Ode Buat Kota", yang bentuk acara nya tidak ada unsur SARA, namun kalau dibilang provokatif, itu pendapat masing-masing personal yang datang menonton pertunjukan tersebut malam tadi.
Jogja Ora Di Dol. Sebuah kalimat singkat yang membuat sikap reaksioner dari pemerintah kota Jogja. Saat ini Jogja memang sedang mengalami perkembangan yang luas biasa, dari segi tata kota nya. Banyak mall yang mulai dibangun, dan juga hotel-hotel mewah. Jogja memang tidak bisa menghindar dari arus globalisasi, namun ada baik nya pemerintah disini juga melihat latar belakang dari Jogja itu sendiri, yaitu kota pelajar dan kota seni. Jogja bukan kota metropolitan, saya rasa pembangunan fisik seperti yang saya sebutkan diatas tidak tepat untuk kota yang berhati nyaman ini. Event budaya tahunan Jogja Java Carnival yang dihapus, komunitas sepeda Sego Segawe yang juga dihapus, kesewenang-wenang an pemerintah kota dalam menerapkan aturan periklanan di public space dan masih banyak lagi. Wujud respon masyarakat dan seniman dengan tagline Jogja Ora Di Dol salah satu nya adalah dengan merespon kebijakan-kebijakan sepihak pemerintah yang seperti itu. Dengan di pidanakan nya Arif, salah seorang seniman mural beberapa hari yang lalu, tentu semakin memancing masyarakat dan seniman di Jogja, bahkan di kota lain untuk bersikap lebih reaksioner.
Sebagai kota seni, kenapa seniman sampai harus di pidana kan gara-gara membuat sebuah mural yang dirasa membahayakan kredibilitas pemerintah Jogja? Ini sudah bukan jaman orde baru, kenapa pemerintah Jogja tidak membuka jalan 2 arah dengan mediasi contoh nya? Kenapa juga sampai sekarang tidak ada komentar sedikit pun dari bapak Walikota yang terhormat tentang semua kritik dan kegelisahan warga kota selama ini?