Sebelumnya saya tidak pernah mengenal sosok orang ini, IksanSkuter? Siapa sih dia, namanya kok aneh sekali ya? Awal pertemanan kami sangat
tidak disengaja, beliau adalah seorang musisi di Ibukota yang lebih banyak
menulis lirik tentang fenomena sosial carut marutnya bangsa ini. Beliau
juga pernah tampil di TV One, dan sebelumnya menjadi salah satu member dari
band pop mainstream, Putih.
Bulan lalu kalo tidak salah, saya mendapat email dari
manager dia, Bagus Dakar kalau beliau akan perform di Jogja di acara besutan
ICW (Indonesia Corruption Watch) di Kampus Sanata Dharma Yogyakarta. Tertulis
di pesan elektronik tersebut jika dimungkinkan bisa dilakukan interview oleh media saya, dan beliau
juga bersedia untuk memberikan beberapa CD Iksan Skuter (LP) secara cuma-cuma sebagai
sampel.
Saya jadi tambah penasaran dengan orang ini, sempat saya
browsing dan menemukan single nya yang berjudul "Partai Anjing" yang dirilis
gratis di album kompilasi Perangkap Tikus, masih besutan dari ICW juga.
Meskipun sebenarnya saya tidak terlalu berminat dateng ke
SADAR hari itu karena Jogja sedang dilanda hujan, akhirnya saya datang kesana juga dan menemui orang ini. Setelah bertemu, ternyata orang ini
berasal dari daerah asal saya, Malang tapi merantau ke Ibukota. Kami pun mulai
interview ditempat beliau menginap, karena memang saya diajak kesana dan
terpaksa melewatkan MORFEM malam itu.
Interview yang malah berujung seperti obrolan 2 orang kawan lama berlangsung sangat santai dan menggunakan bahasa sehari-hari kami (Malangan), mungkin karena kami berasal dari satu daerah dan sama-sama menjadi perantau, jadi kami bisa jadi lebih nyambung secara emosional. Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 4 pagi waktu itu.
Interview yang malah berujung seperti obrolan 2 orang kawan lama berlangsung sangat santai dan menggunakan bahasa sehari-hari kami (Malangan), mungkin karena kami berasal dari satu daerah dan sama-sama menjadi perantau, jadi kami bisa jadi lebih nyambung secara emosional. Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 4 pagi waktu itu.
Banyak cerita menarik dari orang ini, beliau mulai
menceritakan kisahnya saat masih di band Putih, carut marutnya dunia label
industrial di Indonesia, sampai bagaimana dia bisa memutuskan ke jalur indie
seorang diri dengan semua keterbatasan finansialnya. Saya salut dengan perjuangan hidup orang ini,
beliau masih bisa bertahan ditengah kerasnya Ibukota, berpisah untuk mencari sesuap nasi di Jakarta dengan istri dan anaknya yang masih berusia 8 bulan yang dia tinggal di Bandung dan hanya mengandalkan
Vespa PTS yang sudah uzur untuk mobilisasi disana.
Sebulan berselang, saya berjumpa lagi dengannya di Jogja,
namun dalam suasana yang berbeda. Kejadian Festival musik Locstock 2 yang sangat
membuat hitam dunia musik di Indonesia beberapa hari lalu kembali membuka mata
saya, yang sebelumnya sempat men judge event ini sangat lah busuk karena
persiapan dan pelaksanaannya sangat kacau balau, dan berujung kematian dari
ketua panitia karena bunuh diri. Namun, teman baru saya ini ternyata memiliki pola pikir berbeda mengenai hal tersebut. Beliau iklas dengan semua kekurangan fee yang belum dibayar, dan malah berempati
kepada ketua panitia dari event ini. Sosok seperti ini sangat jarang ada
dibanding pengisi acara lain yang masih ribut mempermasalahkan kekurangan
pembayaran fee mereka. Beliau hanya tersenyum sambil menghisap
rokok kreteknya dan menyeruput kopi hitam kesukaannya sembari berkata: Utangmu tidak sebanding dengan nyawamu bung. Demikian sepatah kata yang terucap dari mulutnya saat
saya bertanya bagaimana perasaan dia setelah datang ke Jogja dan batal main
dengan pembayaran fee yang tidak jelas.