Mungkin untuk beberapa orang istilah Record Store Day masih terdengar cukup asing, namun bagi anak muda yang gemar mengumpulkan rilisan fisik entah berupa CD, kaset ataupun Vynil tentu sudah bukan hal yang asing lagi istilah Record Store Day ini. Record Store Day dimulai di Amerika sekitar tahun 2007 oleh Eric Levin, Michael Kurtz, Carrie Colliton, Amy Dorfman, Don Van Cleave dan Brian Poehner. Perayaan ini dilaksanakan di minggu terakhir bulan April, dan untuk tahun ini dilaksanakan pada tanggal 20 April di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Di Indonesia, trend membeli rilisan fisik sebenarnya sudah ada sejak lama, terutama oleh anak generasi 90 an saya yakin rata-rata dari mereka pasti pernah membeli rilisan fisik dengan uang saku nya sendiri, minimal berupa kaset. Wajar memang karena di jaman itu rilisan digital belum populer di Indonesia, dan akses internet masih sangat terbatas tidak seperti saat ini.
Untuk tahun ini, ada 3 kota yang merayakan Record
Store Day, yaitu Jakarta, Yogyakarta dan Bali. Hal ini tentu menjadi semacam garage sale yang memang memiliki hobi
mengumpulkan rilisan-rilisan fisik dari label-label side stream yang ada di
Indonesia. Salah satu hal positif yang bisa di dapat adalah event ini bisa
menjadi semacam ajang reuni dan mengakrabkan diri antar pemilik label fisik
yang ada di Indonesia, karena untuk para pemilik netlabel (Internet Label)
sudah melalui event gathering bertajuk Indonesian Netaudio Festival yang
digelar di Yogyakarta tahun lalu.
Saya sendiri sebagai penikmat musik dan juga
musik jurnalis sampai saat ini sudah sangat jarang membeli rilisan fisik /
merchandise dari band-band indie yang sudah tumbuh subur di Indonesia. Tidak
sedikit juga dari mereka saya juga kenal, tapi memberikan support kepada band /
musisi tidak hanya dengan membeli merchandise dan rilisan mereka bukan? Dapat
ke gig, mereview musik mereka merupakan salah satu contoh memberikan support
kepada musisi-musisi lokal yang ada.
Mungkin apa yang terjadi pada saya sedikit
berbeda dengan fenomena banyaknya
anak muda yang mengoleksi piringan hitam akhir-akhir ini. Tentu hobi seperti
ini dapat memberikan profit tersendiri untuk acara Record Store Day, namun
permasalahan nya adalah, apakah mereka akan terus menggeluti hobi yang bisa
dibilang tidak murah ini? Seperti banyak trend yang pernah muncul di Indonesia,
mulai sepatu roda hingga sepeda fixie, apakah mengumpulkan piringan hitam dan
rilisan fisik seperti saat ini dapat bertahan lama di Indonesia? Banyak record
store yang sudah tutup di Indonesia, sebut saja Aksara di Jakarta ataupun VOX
di Jogjakarta, meskipun masih banyak juga record store yang masih bertahan
seperti Hey Folks!. Hal ini sedikit banyak menunjukkan menurun nya animo
masyarakat dalam membeli rilisan fisik band-band indie, karena tidak dapat
dipungkiri sejak internet sudah sangat mudah diakses, banyak informasi yang
bisa didapatkan disana termasuk membajak karya-karya digital musisi yang ada.
Semoga untuk kedepannya semakin banyak band-band
dan musisi bagus yang muncul di Indonesia dan semakin giat dalam merilis karya,
ntah berupa fisik ataupun digital (netlabel), dan semakin banyak record store
yang tumbuh berkembang di Indonesia.