Politisasi Ternyata Terjadi di Media (musik)


Sekilas, ini akan menjadi judul sebuah artikel dan tulisan yang terlihat seram. Saya sendiri juga rada serem saat nulis artikel ini, bukan apa-apa, saya disini juga seorang junior staff salah satu media musik ternama di Jakarta, dan juga memiliki media musik sendiri.

Saya cuma sedikit gatal untuk menulis, setelah cukup sering mendengar celetukan-celetukan dari beberapa teman. Banyak dari mereka merasa media-media besar di Jakarta hanya mengangkat musisi / band yang itu-itu saja. Memang tidak bisa dipungkiri lagi, barometer untuk media musik di Indonesia ya memang di Jakarta. Memang banyak media-media sejenis di luar Ibukota, entah itu berupa majalah digital, majalah cetak ataupun webzine. Dulu saya sempet juga berpikir, “untuk dapat menjadi besar harus diawali oleh adanya orang besar”. Orang besar itu orang yang seperti apa? Jika kamu paham siapa aja sih di balik media-media musik di Jakarta, mungkin kamu akan mengerti maksud dari statement diatas.

Hubungan nya sama judul artikel ini apa coba? Saya tidak bermaksud menjelekkan siapa-siapa disini, saya ambil contoh band dari temen photographer saya, Muhammad Asra (Max Havellar). Mungkin orang di daerah tidak pernah mendengar nama orang dan band ini, tapi di dalam dunia photography, terutama stage photography siapa yang ga kenal sama orang ini, stage photographer yang dulu nya pernah bekerja di majalah Spin (USA) dan setelah kembali ke Indonesia bekerja untuk NYLON Indonesia dan RollingStone Indonesia sebagai Photographer. Banyak yang berpikir Max Havellar mendapat fasilitas free download single baru mereka di RollingStone Indonesia gara-gara si doi memang bekerja disana. Mungkin masih banyak lagi contoh lain untuk band-band indie di Indonesia yang mendapat pandangan sama seperti band temen saya ini, saya dan Asra tentunya tidak ambil pusing dengan statement tersebut, semua orang bisa bebas berpendapat di jaman yang katanya sudah demokrasi ini.

Jika di bandingkan dengan saya yang juga bekerja sebagai jurnalis di deathrockstar Jakarta dan public relation merangkap editor di bagian webzine untuk KANALTIGAPULUH Radio (media saya sendiri), mungkin banyak juga orang yang membicarakan miring tentang media saya ini, haha. Untuk sistem kerja saya sebagai editor, saya akan sedikit jelaskan disini. Mungkin akan sedikit dapat membuka pikiran teman-teman sekalian yang mungkin memiliki pendapat seperti orang-orang yang berpikiran miring ke sosok band yang dianggap menjadi “anak emas” media-media ternama di Indonesia.

Sebagai editor, tentunya harus memfilter semua hal yang masuk ke dalam redaksi. Saya juga seperti itu, tiap media tentunya memiliki batasan tertentu dalam filtering konten yang masuk, tentu tidak akan sama ditiap media yang ada. Untuk media saya, ada fasilitas untuk mengirimkan demo lagu. Salah 1 filtering dilakukan disini, semua demo yang masuk  di filter sesuai ketentuan yang telah ada (kualitas rekaman (ketentuan 192kbps) dan musikalitas nya sendiri). Jika sudah lolos dari tahap itu, demo yang dikirimkan sudah bisa diputar di radio di program yang sudah ditentukan sebelum nya.

Masalah yang ada adalah sangat jarang band yang mengirimkan press release beserta demo yang mereka kirim, dan kebanyakan band yang mengirim berasal dari luar kota Malang. Perlu digaris bawahi, media saya terbentuk awalnya di kota Malang, tetapi karena satu dan lain hal 90% operasionalnya sekarang berjalan di kota Yogyakarta. Akhir-akhir ini saya lihat juga cukup subur muncul radio online dan webzine di kota Malang, saya menanggapinya secara positif saja, oh ternyata anak muda di kota kelahiran saya masih semangat untuk berkarya dan membuat sesuatu yang  positif. Semacam sebuah trend baru dimana di jaman saya muda dulu, trend yang ada di kota ini adalah distro dan anak muda nya yang hedon meniru kehidupan di Ibukota. Maaf kalo dirasa keliru, saya merasakan nya seperti itu soalnya, hehe.

Dengan tidak adanya press release dan informasi mendetail tentang band yang mengirimkan demo, membuat saya cukup sulit juga untuk bisa menaikkan nya ke website dalam bentuk tulisan. Bukan nya saya malas juga untuk mengontak mereka, sumber daya manusia untuk kami sendiri yang di kota Malang masih kurang dibanding di Yogyakarta (di Malang hanya ada 1 penanggung jawab dan 1 jurnalis dan di jogja ada 8 orang announcer, 2 orang jurnalis dan ke 8 orang announcer tsb dapat merangkap sebagai jurnalis jika ditugaskan meliput). Mereka (anak muda) yang di Malang sepertinya lebih tertarik untuk membuat media sendiri daripada menerima tawaran recruitment yang kami buka. Saya garis bawahi disini, membuat media itu sangat gampang, tapi untuk mengurusi dan bertanggung jawab kedepan nya, tolong dipikirkan lagi. Untuk Jogja sendiri, media musik yang konsisten sampai saat ini saja dapat dihitung dengan jari. Banyak teman-teman saya yang mendirikan media musik tapi entah alasan apa mulai hiatus dan akhirnya tenggelam tidak ada kabar nya lagi. Konsistensi yang saya bicarakan disini. Jika kamu tau IndosinglesClub (cek di google untuk lebih detailnya), mungkin cuma 30 % dari mereka yang masih aktif sampai saat ini.

Wajar jika banyak yang merasa konten di dalam media saya lebih banyak dari luar kota Malang, dan semakin kesini semakin global. Memang seperti itu adanya, SDM di kota kelahiran radio ini sendiri masih sangat kurang, berbeda dengan saat ini di Yogyakarta. Sebagai editor, saya juga cukup repot karena kekurangan bahan apa yang harus saya angkat dari kota kelahiran radio ini, resource yang masuk sangat minim dan kebanyakan mendapatkan resource dari media sejenis yang memang khusus mengangkat konten untuk kota Malang. Intinya, semua media (musik) itu sebenarnya netral, dan saya percaya media / band dapat menjadi besar itu berkat kerja keras orang di dalamnya,bukan karena hanya adanya orang besar didalam nya. Sebagai penggiat musik, seni, dan local scene di Indonesia, mungkin kalian bisa lebih memanfaatkan media-media yang ada di Indonesia, kami selalu terbuka untuk membantu kalian, tapi tetap sesuai prosedur dan kode etik yang ada di masing-masing media.

Semoga tulisan yang bikin pusing ini dapat sendikit membuka pikiran kalian yang berpendapat miring ke beberapa media musik di Indonesia pada khususnya. Coba deh bikin karya yang keren dan kirim ke mereka, saya yakin bakal bisa naik kok artikel nya. Cheers J

This entry was posted on March 9, 2013 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply