Beginilah Nasib Almamater Saya, Sekarang

“Sepertinya sekolah kita akan tutup.”

Kata-kata temanku itu berkelebat di dalam kepalaku, tergantikan oleh bayang-bayang gedung hijau tingkat tiga. Masih kuingat jelas mural di bagian muka gedung itu. Senyum anak lelaki dan perempuan  menatap suatu titik di langit sana. Mereka memamerkan semangat untuk bersekolah. Seragam batik mereka dilukiskan begitu detail.

Senyum di mural itu. Simbol senyum kita. Kuingat saat kita berlari, bermain gobak sodor di lapangan. Kita berlari lalu melompat ke kotak aman. Bosan dengan gobak sodor, kita masih punya bekel untuk bermain, atau monopoli. Kita juga sering memainkan polisi-polisian, kejar-kejaran, bintang hinggap, ular naga. Dinginnya hujan yang membecek di tanah itu masih terasa hingga kini. Segarnya udara di sekolah kita, aku juga masih ingat. Meskipun sudah sepuluh tahun berlalu, ada rasa ganjil tak nyaman sesudah mendengar perkataan temanku itu.

“Bagaimana bisa tutup? Apa maksudmu?”

“Apa kamu tahu, tahun ini sekolah kita hanya mendapat tiga murid?”

“Tiga?” Gelas susu coklat itu kuputar-putar gelisah.

Kuingat kita berlima puluh sekolah dan lulus bersama dari SD kita. Lima puluh tawa yang berbeda setiap pagi. Ada yang tertawa hingga garis matanya hilang, ada yang tertawa hingga terguling sungguhan. Cekikikan di sela-sela pelajaran.

Sekarang hanya tinggal enam tangan mungil menggores kapur di papan. Kapur-kapur itu terus bergerak, tetap memiliki semangat yang sama. Kapur-kapur yang sering patah, karena kita selalu bersemangat menulis di depan.

Tapi adakah mereka akan tumbuh seperti kita kawan? Bisakah mereka bermain gobak sodor seperti kita, kalau pemainnya hanya tiga orang? Bisakah mereka mengerti kehidupan dengan banyak orang? Mengerti senangnya memiliki teman baru saat teman lain hilang karena nge-gank dengan teman lain? Hidup bertiga dalam satu ruang rasanya terlalu menakutkan.

Dan waktu upacara bendera, aku yakin suara-suara kecil itu berusaha sekeras mungkin menyanyikan lagu Indonesia Raya, supaya bendera itu berbangga. Supaya kibarannya makin mengharukan di dada. Mungkin, kalau hal ini terjadi, yang merasa miris bukan anak-anak. Mereka punya harapan di mata mereka. Tapi guru-guru kita.

Menjadi guru mempunyai kesenangan sendiri. Melihat anak didik masuk SMP ternama misalnya. Atau anak didik sudah mampu bekerja kecil-kecilan. Kebanggan seperti itu takkan pernah terganti. Setiap tahun murid-murid lama keluar, dan murid-murid baru masuk dengan tercengang-cengang. Tapi guru-guru kita tetap dengan sabar tersenyum, menjelaskan banyak hal pada mereka. Karena guru-guru kita tahu, suatu saat mereka akan lulus dengan nilai yang sama memuaskannya dengan kakak-kakaknya terdahulu.

Tapi, hanya tiga orang?

Seolah bisa membaca pikiranku, temanku berkata, “Aku merasa sedih harus mengatakan ini. Tapi sekolah kita hanya sekolah swasta.“

Ya, hanya sekolah swasta. Di ujung percakapan yang makin mengeringkan lidah juga menghambarkan hati itu, kutahu tak ada cukup uang untuk semuanya. Menjelang idul fitri ini, ada alumnus yang sudah lulus universitas menggalang dana dari kawan-kawannya untuk memberi THR pada guru-guru kita. Uang-uang itu, dibelanjakan untuk masing-masing guru.

Bisa kubayangkan sekaleng biskuit dan sirup berdiri di meja, sebagai ganti THR.

Sisa percakapan itu jadi bisu untuk sementara. 

———————
Sedih rasanya melihat keadaan almamater saya yang sekarang seperti ini. Sebuah Sekolah swasta yang konon terkenal dengan segudang prestasi akademiknya, para lulusan yang selalu diterima di SMP Negeri atau Swasta nomor satu di kota ini, sekolah dengan nilai rata-rata lulusan yang selalu masuk tiga besar di kota ini dan di Jawa Timur, ditambah prestasi non-akademik nya yang cukup luar biasa, kenapa sekarang bisa menjadi seperti ini?

 Ternyata sudah banyak sekali perubahan disini. Disamping banyak tumbuh gedung-gedung pusat perbelanjaan dan Apartemen-apartemen mewah, sekolah saya pun terancam tutup dan mungkin bisa jadi bakal terbangunkan menjadi sebuah Apartemen mewah layaknya yang sudah terjadi di kebanyakan public space di kota Malang.

Swasta. Memang seluruh biaya datangnya dari para orang tua murid, tidak ada campur tangan pemerintah sama sekali. Tapi kenapa dalam sebuah media pendidikan hal seperti ini perlu terjadi? Tak ada bedanya dengan klub-klub sepakbola di Indonesia, yang bisa hidup tenang dengan suntikan bermilyar-milyar uang rakyat, tapi prestasinya nol! bertolak belakang dengan klub non apbd tapi bisa berprestasi, hanya mengandalkan uang penjualan tiket dan sponsor yang memang tidak seberapa besarnya.

Siapa yang salah, manajemen sekolah, atau siapa? Ada apa dengan almamater ku ini, kenapa sekarang bisa jadi seperti ini? rindu rasanya melihat tangan-tangan kecil dengan senyum polos di wajah mereka yang tiap pagi hari menunggu di depan kelas, menunggu para guru datang hanya untuk bersalaman dan mencium tangan mereka.

This entry was posted on June 7, 2012 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply